Malaysia perkuat fokus keamanan di laut sengketa, akankah mengganggu hubungan dengan China?
Malaysia menempatkan keamanan maritim sebagai salah satu pilar utama pembangunan nasional. Menurut pengamat, langkah ini diambil setelah Malaysia menghadapi tekanan dari China serta maraknya penangkapan ikan ilegal oleh kapal Vietnam di ZEE mereka.
Perdana Menteri Anwar Ibrahim telah memaparkan Rencana Malaysia ke-13, sebuah peta jalan pembangunan lima tahunan yang mencakup target-target umum pertumbuhan ekonomi. Namun apa yang disampaikan Anwar tentang pertahanan dan keamanan justru menjadi sorotan para pengamat.
Dalam paparannya, Anwar menyampaikan soal fokus pertahanan militer Malaysia ke depannya.
“Kesiapsiagaan untuk menghadapi ancaman kedaulatan dan keamanan di Laut China Selatan akan ditingkatkan secara lebih komprehensif,” ujar Anwar di hadapan anggota parlemen pada 31 Juli lalu.
Soal penguatan sektor pertahanan sebenarnya juga pernah disampaikan pada Rencana Malaysia ke-12 tahun 2021 oleh PM Malaysia ketika itu Ismail Sabri Yaakob, namun hanya gambaran secara umum. Pengamat mengatakan kepada CNA, penyebutan laut sengketa secara khusus kali ini oleh PM Anwar bisa memiliki makna yang mendalam.
Pemerintah Malaysia, kata pengamat, kemungkinan akan mengalokasikan anggaran khusus untuk memantau secara lebih efektif wilayah sumber daya lepas pantai di perairan sengketa, memaksimalkan sumber daya militer guna menghadapi ancaman di laut strategis itu, atau membeli lebih banyak lagi kendaraan udara nirawak (UAV).
“Rencana Malaysia ke-13 pada dasarnya adalah rencana ekonomi strategis, tetapi saya terkejut karena isu kedaulatan juga dimasukkan,” kata Abdul Rahman Yaacob, peneliti program Asia Tenggara di lembaga kajian Lowy Institute, Australia.
“Namun, kekhawatiran Malaysia atas Laut China Selatan bukanlah hal yang mengejutkan. Malaysia memang sedang terus membangun kekuatan militernya di Malaysia Timur.”
Saat ini pemerintahan Putrajaya tengah menambah radar jarak jauh, drone jarak jauh, serta sebuah pangkalan laut baru di Sarawak yang mampu meluncurkan kapal selam untuk memperkuat postur keamanannya di Laut China Selatan.
Para pengamat juga menduga bahwa penyebutan Laut China Selatan dalam dokumen nasional dinilai muncul karena tekanan berkelanjutan dari angkatan laut China serta praktik penangkapan ikan ilegal oleh kapal Vietnam di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Malaysia di lepas pantai negara bagian Kalimantan dan pesisir timur Semenanjung.
Namun fokus baru ini disinyalir tidak akan sampai mengubah sikap Malaysia yang mengedepankan sikap non-konfrontatif dalam merespons insiden di Laut China Selatan. Pemerintah Malaysia diyakini tetap akan memprioritaskan hubungan bilateral yang kuat dengan negara pengklaim lain demi keuntungan ekonomi bersama.
Selain China, beberapa negara anggota ASEAN juga memiliki klaim atas jalur laut strategis itu termasuk Brunei, Filipina, dan Vietnam.
Thomas Daniel, direktur program kajian kebijakan luar negeri dan keamanan di lembaga kajian Institute of Strategic & International Studies (ISIS) Malaysia, mengatakan kepada CNA bahwa meski China adalah “faktor besar”, namun itu bukan satu-satunya alasan Malaysia memasukkan Laut China Selatan dalam peta jalan pembangunan lima tahunannya.
“China adalah satu-satunya pihak di Laut China Selatan yang punya kemampuan mengubah status quo. Dan Malaysia, selama bertahun-tahun, menghadapi tekanan yang konsisten dari RRC,” ujarnya kepada CNA.
“Tantangan besar lainnya bagi Malaysia sebenarnya adalah praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur oleh armada kapal penangkap ikan Vietnam. Jika berbicara dengan pejabat Malaysia, hal ini lebih mengganggu mereka dibanding RRC”.
Jamil Ghani, kandidat doktor di S Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Singapura, menyoroti bagaimana kapal penangkap ikan ilegal juga berperan dalam perdagangan manusia dan satwa liar antara Malaysia dan Vietnam.
Faktor-faktor ini, ditambah kehadiran China, klaim tumpang tindih, serta tekanan dari para pemimpin Sabah dan Sarawak di Kalimantan, telah menjadikan keamanan maritim sebagai pilar utama strategi pembangunan nasional Malaysia, ujar Jamil.
“Ini menandai pergeseran dari retorika pertahanan yang tidak jelas ke kebijakan yang dapat diimplementasikan.”
ANCAMAN DI LAUT CHINA SELATAN
Data pelacakan yang dapat diakses publik dari Asia Maritime Transparency Initiative di Washington menunjukkan bahwa pada 2024, Penjaga Pantai China berpatroli di Karang Luconia selama 359 ship days, artinya hampir setiap hari ada kapal penjaga pantai yang siaga di lokasi tersebut, kata Jamil.
Ship days merujuk pada jumlah hari sebuah kapal atau sekelompok kapal berada di suatu area tertentu, yang digunakan untuk mengukur intensitas dan durasi patroli maritim.
ZEE Malaysia mencakup wilayah kaya minyak dan gas yang telah menyumbang hampir 25 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) negara tersebut. Wilayah ini termasuk Karang Luconia, gugusan terumbu yang sebagian besar berada di bawah permukaan laut dan terletak di antara berbagai lokasi minyak dan gas Malaysia, 155km dari pesisir Sarawak.
China, yang mengklaim sebagian besar Laut China Selatan melalui ‘sembilan garis putus-putus’, kerap memprotes aktivitas Malaysia di Karang Luconia. Malaysia menegaskan akan tetap melanjutkan kegiatan eksplorasi di perairan tersebut.
Jamil mengatakan, kapal Penjaga Pantai China di Karang Luconia juga kerap mendatangi sumur eksplorasi baru Malaysia di lepas pantai Sarawak, bahkan mendekat hingga 1km dari sejumlah anjungan minyak dan gas.
Ia menyebut hal ini sebagai bentuk “tekanan zona abu-abu yang berkelanjutan atas kedaulatan sekaligus infrastruktur energi” Malaysia oleh China. Zona abu-abu adalah istilah untuk menggambarkan tindakan intimidatif tanpa memicu peperangan secara langsung.
Terkait penangkapan ikan, Daniel dari ISIS mengatakan kapal Vietnam menangkap ikan secara ilegal di perairan Malaysia karena stok ikan di perairan mereka menipis akibat besarnya industri perikanan Vietnam.
“Sektor perikanan Malaysia sangat kecil dibanding mereka, dan perairannya tidak terpatroli karena tidak ada aset; kesadaran domain maritim pun minim,” kata Daniel.
“Dan ketika kapal penjaga pantai Malaysia bergerak untuk mencegat, kadang timbul masalah. Nelayan Vietnam dikenal sangat agresif. Beberapa di antara mereka bersenjata. Pernah terjadi tembakan.”
Antara pertengahan 2019 hingga September 2024, Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) menahan 598 kapal nelayan yang sebagian besarnya berasal dari Vietnam, ujar Jamil.
“Semakin menambah bahaya di sektor keamanan, sebuah studi pada Januari 2025 mengungkap kapal nelayan komersial telah menjadi jalur penyelundupan organ tubuh satwa liar yang dilindungi serta perdagangan manusia antara Malaysia dan Vietnam,” ujarnya.
Studi yang dilakukan oleh organisasi konservasi kucing liar Panthera, Jeffrey Sachs Center di Universitas Sunway, dan Zoological Society of London, menemukan bahwa menurunnya pemasukan di sektor perikanan telah memicu keterkaitan antara penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur, kejahatan satwa liar, serta jaringan kerja paksa.
Ke depannya, Daniel mengatakan, Malaysia sebaiknya membeli aset yang mampu mendeteksi dan berbagi informasi soal pelanggaran dengan unit darat, udara, dan laut lainnya.
“Maksudnya apa? Semoga dengan memperoleh lebih banyak aset laut dan udara yang bisa saling terhubung, baik berawak maupun nirawak, Malaysia dapat meningkatkan kesadaran sekaligus kapasitas untuk merespons,” ujarnya.
Collin Koh, peneliti senior di Institute of Defence and Strategic Studies, RSIS, mengakui bahwa Malaysia menghadapi berbagai tantangan keamanan di zona maritimnya.
Namun menurut dia, tekanan China di Laut China Selatan dekat Kalimantan “jauh lebih sulit diatasi dibandingkan tantangan lainnya”.
Koh mengatakan, penguatan postur keamanan Malaysia di Laut China Selatan juga merupakan upaya Anwar memenuhi kewajibannya kepada dua negara bagian di Pulau Kalimantan yang tengah menuntut otonomi lebih luas, termasuk pengelolaan pendapatan energi.
“Tak bisa dihindari ada dimensi geo-ekonomi dalam hal ini, yang sangat berkaitan dengan kepentingan energi lepas pantai Malaysia di ZEE Kalimantan,” tambahnya.
DRONE, RADAR DAN JET TEMPUR
Daniel mengatakan, komitmen Anwar untuk melindungi wilayah laut menunjukkan bahwa Malaysia harus meningkatkan kemampuan alat utama sistem senjata (alutsista) mereka.
Sejak lama militer Malaysia menghadapi masalah dalam pengadaan, pemeliharaan serta modernisasi alutsista. Masalah ini masih terjadi kendati pemerintahan Putrajaya telah menargetkan kenaikan anggaran pertahanan dari 1,1 persen menjadi 1,5 persen dari PDB pada 2030.
Pada 2024, anggaran pertahanan negara-negara Asia Tenggara berkisar antara 0,78 persen (Indonesia) hingga 4,09 persen (Myanmar) dari PDB masing-masing.
Koh mencatat bahwa pada insiden tahun 2021, Malaysia hanya mampu mengerahkan jet tempur Hawk lama untuk mencegat pesawat tempur China yang terbang mendekati wilayah udaranya di lepas pantai Sabah.
“Secara umum, pembangunan strategis Angkatan Bersenjata Malaysia (MAF) terlihat banyak diarahkan ke Laut China Selatan, selain juga dipicu oleh pertimbangan praktis mengenai semakin usangnya beragam perlengkapan militernya,” ujarnya.
Pemerintah Malaysia telah sepakat membeli tambahan dua radar jarak jauh dari Prancis untuk ditempatkan di Malaysia Semenanjung maupun Malaysia Timur. Malaysia juga dijadwalkan menerima tiga drone jarak jauh buatan Turki pada Maret 2026.
Drone tersebut akan ditempatkan di Pangkalan Udara Labuan di Kalimantan dan digunakan untuk menjalankan misi intelijen, pengawasan, dan pengintaian berkelanjutan di ZEE Malaysia, kata Jamil. Pada Mei lalu, Menteri Pertahanan Malaysia Khaled Nordin berjanji menambah investasi pada teknologi UAV.
Malaysia juga tengah memfinalisasi pembelian 33 jet tempur bekas F/A-18C/D Hornet dari Kuwait, meski Daniel menekankan jet-jet itu perlu ditingkatkan spesifikasinya agar setara dengan armada kedelapan F/A-18D Hornet milik Angkatan Udara Diraja Malaysia.
“Pilihan membeli Hornet bekas dari Kuwait bukan semata soal ketersediaan stok dan faktor keakraban operasional, tapi juga karena jet ini memang dirancang dan dioptimalkan untuk operasi di laut,” kata Koh.
Jet tempur Hornet itu dijadwalkan diterima Malaysia antara akhir 2025 hingga 2026, namun belum diketahui akan ditempatkan di mana.
“Jika dikerahkan ke Malaysia Timur, Hornet itu akan melengkapi infrastruktur laut baru di Sarawak sekaligus memungkinkan cakupan udara lebih berkelanjutan di zona sumber daya lepas pantai,” ujar Jamil.
BUKAN CUMA PERALATAN TEMPUR
Koh mengatakan, Malaysia tidak hanya akan mengembangkan kapabilitas perangkat keras dan lunak sistem pertahanan, melainkan juga membangun pangkalan laut baru di Muara Tebas, dekat ibu kota Sarawak, Kuching.
Lokasi itu menawarkan “akses cepat ke laut lepas” dan perairannya yang cukup dapat difungsikan sebagai titik transit bagi kapal selam kelas Scorpene milik Malaysia, sehingga meningkatkan kesadaran domain maritim di Laut China Selatan, jelas Jamil.
Perusahaan Pembangunan Ekonomi Sarawak tengah melakukan studi kelayakan yang diperkirakan selesai pada kuartal pertama 2026, dan pembangunannya akan dimulai segera setelahnya.
Laporan media lokal menyebutkan, pangkalan yang masuk daftar proyek prioritas dalam Rencana Malaysia ke-13 itu awalnya direncanakan dibangun lebih ke timur di Bintulu dekat ZEE, namun kemudian dipindahkan lebih dari 500km ke Muara Tebas karena “berbagai faktor”.
Ini bukan hanya soal angkatan laut. Dalam pidatonya tentang Rencana Malaysia ke-13, Anwar berjanji membangun “kekuatan masa depan yang terintegrasi, lincah, dan terfokus” guna memastikan stabilitas dan kemakmuran negara.
“Dalam beberapa tahun terakhir juga terlihat meningkatnya kerja sama lintas lembaga antara MAF, khususnya Angkatan Laut Diraja Malaysia, dan APMM untuk memperkuat respons bersama terhadap masalah maritim,” kata Koh, membandingkan dengan bagaimana China menggunakan angkatan laut dan penjaga pantainya untuk “menegaskan dominasi fisik” di Laut China Selatan.
Pernyataan Anwar mencerminkan pandangan para perencana pertahanan Malaysia bahwa MAF, dengan segala keterbatasan ukuran dan anggaran, perlu membelanjakan dana secara “bijak”, kata Daniel.
“Saya kira yang akan terlihat dalam rencana pembangunan jangka panjang, terutama di bidang pertahanan, adalah alokasi yang lebih spesifik untuk meningkatkan kapabilitas agar Malaysia mampu mempertahankan kehadiran lebih lama di wilayah sengketa,” ujarnya.
“Hal ini tidak hanya membutuhkan perencanaan terfokus dari para perencana pertahanan, tetapi juga dukungan politik dan pihak yang memegang kendali anggaran, yaitu Kementerian Keuangan. Mereka harus memastikan rencana ini tidak terbengkalai oleh kepentingan nasional lainnya.”
TETAP BERSAHABAT, NON-KONFRONTATIF
Namun, para pengamat sepakat bahwa mempertahankan pendekatan diplomatik terkait sengketa Laut China Selatan telah menjadi kepentingan nasional bagi Malaysia.
“Malaysia selalu konsisten dalam pendekatannya terhadap Laut China Selatan, yaitu memisahkan masalah ini agar tidak mengganggu aspek lain dalam hubungan bilateral,” kata Daniel dari ISIS.
“Terlepas apakah dipicu faktor China atau bukan, memang sudah tepat bagi pemerintah Malaysia untuk serius dalam mengalokasikan perhatian dan sumber daya bagi pembangunan jangka panjang angkatan laut dan udara.”
Menurut Jamil dari RSIS, meski memperkuat pertahanan di Laut China Selatan, namun sikap Malaysia akan tetap bersahabat dan non-konfrontatif terhadap China.
“Ketimbang melakukan sikap asertif yang terbuka, Malaysia menjalankan strategi cegah-tolak yang akan menambah biaya operasional dari setiap pelanggaran ke wilayah ini tanpa perlu meningkatkan ketegangan,” katanya.
“Di tingkat bilateral, Malaysia akan terus membingkai China sebagai mitra strategis, mengedepankan nota protes dan penegasan hukum dibanding konfrontasi terbuka di ruang publik.”
Sementara itu, lanjut Jamil, Malaysia diperkirakan akan lebih aktif di level multilateral dengan memanfaatkan platform ASEAN untuk mendorong kode etik Laut China Selatan.
“Intinya, Malaysia menerapkan strategi ‘hedging’: memperkuat kedaulatan di lapangan sembari menjaga ruang diplomasi untuk kerja sama dengan Beijing,” ujarnya.